Secara sederhana kita dapat menegaskan bahwa seks bisa dilakukan dengan atau tanpa cinta dan sebaliknya, cinta juga tak harus melulu seksual. Tak melulu harus berarti sebuah “persetubuhan liar” (meminjam judul puisi penyair Sitok Srengenge).
Namun norma-norma yang ada dalam masyarakat kita memang mengajarkan bahwa sebuah hubungan seks mestinya, idealnya, adalah merupakan wujud ekspresi dari cinta antara sepasang manusia. Ini memang benar. Sebuah hubungan seks yang dibarengi cinta, selain memang lebih indah, barangkali juga bisa dianggap sebagai idealisasi dari konsep keluhuran martabat manusia dalam perilaku seksualnya.
Witing trisno soko kulino
Dalam sosialitas kelaminnya. Dalam hubungan yang tidak melibatkan cinta, seks cenderung sangat naluriah dan kurang melibatkan kompleksitas emosional para pelakunya meski untuk soal kenikmatan mungkin saja hubungan jenis inipun sama nikmatnya dengan hubungan yang merupakan ekspresi cinta. Tapi korelasi antara seks dan cinta memang sangat mungkin menimbulkan hubungan kausal atau sebab-akibat.
Pepatah Jawa yang berbunyi: witing tresno jalaran soko kulino adalah kebijaksanaan yang percaya bahwa ada hubungan sebab-akibat antara seks dan cinta. Artinya, dari sebuah kebiasaan (apa saja, termasuk kebiasaan melakukan hubungan seks antara suami-istri yang menikah karena dijodohkan) bisa tumbuh cinta. Dari sebuah hubungan yang intens (apalagi persetubuhan yang intens) sangat mungkin tumbuh cinta. Dalam hal ini, dari sebuah cinta yang tulus juga sangat mungkin terjadi sebuah persetubuhan yang intens. Potensi seks untuk menumbuhkan cinta dalam hal ini sangatlah kuat karena sebagai sebentuk interaksi-sosial, interaksi kelamin adalah bentuk komunikasi yang paling universal dan mampu menjembatani segala kendala bahasa dalam hubungan antar-manusia.
Pada cinta juga ada potensi yang besar untuk memanusiawikan seks. Dengan cinta, ketidakjelasan seseorang tentang konsep seksualitasnya bisa mendapatkan pembatasan, arah, dan klasifikasi yang jernih sehingga fleksibilitas seks untuk diumbar secara semena-mena bisa terkontrol oleh pembatasan cinta. Tanpa cinta, pengumbaran seks sebagai komoditi dan sumber kenikmatan benar-benar akan menjadi-jadi mengingat dunia saat ini yang iklimnya memang sangat memuja kenikmatan, sangat hedonistis. Apalagi untuk masyarakat kita yang dipenuhi manusia-manusia serakah pemuja kenikmatan yang menghalalkan segala cara untuk melampiaskan dan memuaskan nafsu-nafsunya. Wow, sulit membayangkan bagaimana jadinya bangsa kita bila cinta benar-benar telah tak ada lagi di masyarakat kita.